Elegant Rose - Busy

Rabu, 08 April 2015

Perpustakaan dalam islam ( Buku : Fajar Intelektualisme Islam)



PERPUSTAKAAN DI DUNIA ISLAM

Perkembangan seni produksi buku yang tak ada duanya dalam islam disebabkan karena ketertarikan para hartawannya yang penuh semangat terhadap buku. Dunia ilmu telah menikmati kedudukan yang sedemikian tinggi, sehingga wajarlah jika orang-orang yang mampu ikut  mengambil bagian dan mengusahakan kemajuannya. Kita telah melihat betapa  pentingnya para pembesar bagi para penulis dan banyak di antara mereka yang ikut mendirikan perpustakaan. Al-Qalqasyandi mengatakan bahwa ada tiga perpustakaan besar dalam islam; perpustakaan ‘Abbasiah di Baghdad, perpustakaan Fathimiyyah di Kairo, dan perpustakaan Umayyah di Kordoba.
Perpustakaan ‘Abbasiah di Baghdad berdiri dalam kaitannya dengan akademi bayt al-hikmah, “gedung hikmah”, atau dar al-ilm , “ tempat pendidikan”, yang didirikan oleh khalifah Al Ma’mum (813-833) atau mungkin sebelumnya oleh ayahnya. Hirun Al-Rasyid (789-809). Tugas pertama akademi itu adalah untuk menyimpan terjemahan-terjemahan buku-buku “ilmu-ilmu kuno” yaitu filsafat Hellenistik dan ilmu alam. Ibn Al Nadim mencatat bahwa Al Ma’mum dalam mimpinya melihat seseorang berkulit putih kemerah-merahan, keningnya lebar, alisnya bertaut, kepalanya botak, matanya biru, sikapnya gagah, duduk di singgahsana. Dia adalah Aristoteles, percakapan yang berlangsung diantara mereka dalam mimpi itu memberi ilham kepada Al Ma'mum untuk mempromosikan literature Yunani dalam akademinya. Karena itu, setelah mengadakan surat-menyurat dengan penguasa Byzantinum ia mengutus beberapa orangnya ke Yunani dan mereka pulang dengan membawa sejumlah buku untuk diterjemahkan.
Akan tetapi, Al Ma’mum bukan orang pertama yang mendirikan perpustakaan terjemahan. Putera khalifah Umayyah, Yazid I, Khalid ibn Yazid ibn Mu’awiyah (w.704) konon telah mendahuluinya, dan ia mengatakan sendiri bahwa itu dilakukannya dengan maksud menghibur diri setelah kecewa karena tidak mendapatkan kekhalifahan. Kegiatan penerjemahan terus berlanjut di bawah pemerintahan Dinasti ‘Abbasiah. Maka kita pun mendengar bahwa Almagest karya Ptolemy diterjemahkan atas inisiatif Barmakid Yahya ibn Khalid, guru harun Al-Rasyid yang juga pernah menjabat sebagai perdana menterinya. Melalui kesempatan ini kita dapat mengetahui bagaimana karya terjemahan dikerjakan. Mula-mula Yahya meminta karya itu diterjemahkan dan ditafsirkan oleh sejumlah ilmuwan secara terpisah ; namun hasilnya tidak begitu memuaskan. Lalu dia menunjuk dua orang ilmuwan- Salam yang telah ditetapkan sebagai direktur akademi ilmu pengetahuan adalah salah satunya untuk meneliti naskah tersebut bersama beberapa penerjemah. Mereka membuat perbaikan-perbaikan dan mengembangkannya. Contoh-contoh lain menunjukkan bahwa sistem penggunaan satu atau lebih penerjemah dan editor supervisi adalah praktik yang umum.
Sumbangan Al Ma’mum mungkin termasuk memperluas ruang lingkup aktivitas yang sedang berkembang itu. Ada tiga tokoh yang menonjol dalam akademi itu, yaitu Salam, yang telah disebutkan diatas, dan dua orang rekannya, Sahl ibn Hirun dan Sa’id ibn Harun.” Sealin itu seorang berkebangsaan Persia yang menonjol, Al-khwarizmi, yang di antara keberhasilannya adalah sebuah karya di bidang astronomi, di antaranya table-tabel astronomis berdasarkan tulisan orang-orang India.
Al Ma’mum tidak sendiri dalam dukungannya terhadap aktivitas ini; tiga orang putra Al-Munajjim, misalnya, juga membayar lima ratus dinar per bulan untuk sekelompok penerjemah. Penerjemah sangat dibutuhkan pada saat itu ketika khazanah literature Islam sedang dalam proses pendirianya, namun perpustkaan Al- Mu’mun tentu saja juga menyediakan literatur Arab lainya. Kami tidak mengetahui sejarah berikutnya, demikian pula tentang sejauh mana buku-buku tersebut dapat diperoleh orang selain dari khalifah sendiri dan orang-orang tertentu yang diberi pengakuan oleh khalifah. Dilaporkan bahwa ketika khalifah yang berikutnya, Al-Mu’tadhid (892-902), sedang merencanakan sebuah bangunan istana baru di Baghdad, ia menginginkan sebuah ruang bawah tanah berikut tempat tinggal dan ruang belajar bagi orang-orang yang menonjol dalam ilmu pengetahuan dan kesusasteraan. Tempat itu harus dilengkapi dengan meja-meja dan penginapan supaya mereka dapat bebas belajar. Perpustakaan yang diperlukan untuk kebutuhan ini diharapkan sesuai dengan perpustakaan yang menggunakan nama Al-Mu’min. dan wajar saja jika perpustakaan itu makin berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Ketika kampus besar (madrasah) yang dikenal dengan Al-Madrasah Al-Mustanshiriyah didirikan pada 1234, beberapa buku dari perpustakaan khalifah dialihkan ke tempat itu kira-kira 8000 jilid.
Di bawah perpustakaan-perpustakaan Fatimiyyahlah cahaya benderang itu gemerlapan. Penguasa dinasti Fathimiyyah menyatakan diri sebagai keturunan puteri Rasullulah, Fathimah; maka menurut pendapat orang-orang syi’ah mereka mempunyai hak terhadap kekuasaan Islam. Sekte yang mereka pimpin itu merupakan cabang dari Isma’iliyah Sekte ini tersebar terluas sehingga mereka mampumendirikan sebuah kerajaan, mula-mula di Afrika Utara (967-1171), kemudian di Mesir, yang mereka beri sentuhan budaya yang kuat. Mereka mendirikan Kairo yang sepenuhnya baru di sisi Kairo yang lama, dengan istana yang begitu megah dan sebuah masjid, Al-Azzar, yang sejak saat itu merupakan pusat dunia islam. Mereka mendirikan perpustakaan di istana itu dan tidak diragukan lagi, juga di masjid-masjid.
Menjelang pemerintahan khalifah dinasti Fathimiyyah kedua, Al-‘Aziz (975-996),perpustakaan istana telah berkembang pesat. Pada suatu kesempatan ketika buku Al-Khalil kitab al-‘ayn, yaitu sebuah kitab ciptaan salah seorang ahli bahasa arab pada masa awal, ditanyakan oleh khalifah, petugas perpustakaan dapat membawakan kepadanya sebanyak tiga puluh satu salinan, termasuk satu yang bertanda tangan. Ia membeli karya-karya sejarah Al-Tabhari seharga seratus dinar, walaupun sudah ada lebh dari dua puluh salinan termasuk satu yang bertanda tangan. Ada seratus karya mengenai leksikograf, yaitu Jamhara karya Ibn Durayad. Secara keseluruhan ada empat puluh koleksi buku di perpustakaan istana, berarti empat puluh ruangan yang penuh berisi buku.“ ilmu-ilmu kuno,” yaitu ilmu alam dan filsafat Hellenistik ‘Ali ibn Muhammad Al-Syabusyti, pengarang buku tentang rumah-rumah ibadah di Negara-negara islam. Ia menyususn dan membuat katalog buku-buku tersebut dan membacakan buku untuk khalifah serta mendiskusikan masalah-masalah sastra. Tentu saja bukan ini masalah utamanya, yaitu bahwa para penguasa memperhatikan kesusasteraan hanya supaya orang lain terpengaruh untuk masuk ke dunia sastra; tapi mereka mempunyai kepentingan tersendiri. Namun demikian, ketika salinan buku karya seseorang dibuat dalam jumlah besar, ini baru memberikan kesan bahwa perpustakaan terbuka untuk kalangan luas. Namun, harus diingat bahwa beberapa karya dicipakan karena permintaan, dan juga bahwa dalam pentransmisian naskah setiap salinan dianggap sebagai suatu edisi yang terpisah dari buku tersebut.
Suatu inovasi dilakukan oleh Al-Hakim (996-1021). Di sebuah ruangan bawah tanah dibagian utara sisi barat sebuah istana besar, ia mendirikan sebuah akademi yang bermodelkan institusi pra-islam dan dinamai seperti akademinya Al-Ma’mum dimasa dahulu, dar’l ilm atau dar’l hikmah. Lembaga ini disahkan oleh kepala bagian propaganda pemerintah, yang menunjukan keinginan untuk menggunakannya sebagai sarana mendekatkan rakyat kepada pemerintah dan kepada ajaran-ajaran yang menjadi ciri khas sekte yang diwakilinya. Tetapi akademi itu adalah lembaga pendidikan yang memiliki perpustakaan sendiri, yang disuplai dari berbagai sumber perpustakaan istana. Seluruh cabang ilmu dimasukkan ke sana. Banguanan itu dihiasi dengan karpet di lantaidan dindingnya, dan selain buku,disediakan juga kertas, pena, dan tinta untuk umum. Siapa saja boleh masuk dan lembaga ini didatangi oleh berbagai kelas dalam masyarakat yang ingin membaca, menulis dan mendapat pengajaran. Peneliti, para asisten, dan pesuruh dipekerjakan dengan gaji tetap, dan para ilmuwan pun diberi gaji untuk melakukan studi di lembaga tersebut.
Anggaran belanja lembaga tersebut mencapai 257 dinar per tahun, menurut Al-Maqrizi. Daftar belanja tetapnya meliputi: karpet-karpet dari Abadan dan tempat-temapat lain, 10 dinar; kertas untuk menulis, 90 dinar;petugas perpustakaan, 48 dinar; air, 12 dinar; pelayan, 15 dinar; kertas, pena dan tinta untuk para ilmuwan yang memerlukannya, 12 dinar; perbaikan karpet, 1 dinar; perbaikan yang mungkin diperlukan untuk buku-buku dan lembaran-lembaran yang hilang, 12 dinar; karpet bulu untuk musim dingin, 4 dinar. Jumlah totalnya terhitung 209 dinar. Sisanya mungkin disediakan untuk keperluan-keperluan tambahan. Buku-buku diperoleh melalui penerjemahan, tetapi beberapa tambahan mungkin juga diberikan sebagai hadiah oleh khalifah. Mengingat jumlah uang yang harus dibayarkan untuk buku, seperti misalnya 200 dinar untuk buku sejarah Al-Thabari dan 60 dinar untuk Jamhara karya Ibn Durayd, maka anggaran belanja yang diuraikan diatas tampaknya terlalu rendah untuk pembelian buku-buku utama. Perpustakaan serupa juga didirikan oleh Al-Hakim di berbagai tempat lain seperti Al-Fustat, Mesir lama.
Perpustakaan istana dan akademi berkembang selama tahun-tahun kemakmuran menjelang pemerintahan khalifah Fathimiyyah, Al-Mustanshir, ketika terjadi musibah kelaparan selama tujuh tahun (1066-1072) akibat bencana banjir dari sungai nil. Selama masa kekacauan yang lantas melanda kaum militer Turki merampas kekuasaan dari khalifah yang lemah, dan mereka menjarah istana yang penuh dengan kekayaan yang luar biasa itu. Sejumlah besar buku hilang pada masa itu, tentara-tentara merebutkannya untuk kekayaan mereka. Ini terjadi pada 1068. Adalah jendral Nashir Al Daula yang bertanggung jawab atas kerusuhan ini, namun seorang wazir juga terlibat di dalamnya. Orang-orang Maqrizi dalam urusan ini melihat sendiri dua puluh lima ekor unta dibebani dengan buku-buku untuk dibawa ke tempat kediaman Wazir Al-Maghribi. Ia telah mengambil seharga 5.000 dinar, sedangkan menurut pendapat para ahli buku semua itu berharga lebih dari 100.000 dinar; namun kemudian, buku-buku tersebut diambil kembali darinya ketika Nashir Al-Daula menghilang dari Mesir, demikian juga buku-buku dari akademi ilmu pengetahuan itu. Sejumlah buku lain juga dicuri disebuah kota di Mesir, sampulnya digunakan untuk sol para prajurit, dan kertas-kertasnya dibakar, sedangkan beberapa yang lainnya dilemparkan ke dalam air atau dibuang. Sejumlah buku dikumpulkan dalam tumpukan besar, lalu angina sedikit demi sedikit menerbangkan pasir sehingga gundukan buku itu berubah menjadi bukit dan terkenal dengan sebutan bukit buku.
Akan tetapi, perpustakaan itu tidak dihancurkan secara total. Pada tahun berikutnya, ia diperbaiki dan diperluas. Untuk sementara waktu akademi itu menjadi arena perdebatan agama dan politik, yang dipandang berbahaya oleh Wazir Al-Afdhal sehingga ia menutupnya pada 1119. Namun setelah ia turun tahta dua tahun kemudian, akademi tersebut dibuka kembali oleh penerusnya, Al-Ma’mum, pada 1123, yang kini bertempat disebuah bangunan baru disebelah timur istana. Dengan demikian, ketika Saladin berkuasa pada 1171 dan mengalahkan semua keturunan Fathimiyyah, baik akademi maupun perpustakaan istana berada dalam keadaan baik, Akan tetapi, akademinya, yang tentu saja berada di bawah pengaruh Syi’ah ditutup, karena masa itu merupakan puncak kejayaan golongan suni ortodoks. Kejayaan istana, termasuk perpustakaannya,  diserahkan atau dijual. Seperti biasa, angka yang diberikan oleh penulis-penulis Arab sangat bervariasi, bahkan ketika menyatakankekayaan perpustakaan pada saat itu. Al-Maqrizimenyebutkan tiga perkiraan: 120.000, 200.000,601.000 jilid; Abu Syamah mengatakan dua juta. Keduanya meriwayatkan bahwa di antaranya ada sekitar 1.200 salinan buku Al-Thabari. Semua saksi sepakat bahwa bagaimanapun perpustakaan itu merupakan salah satu keajaiban dunia yang taka da tandingannya, yang menjadi wadah seluruh ilmu islam saat itu.
Abu Syamah menjelaskan tentang pelelangan buku seorang pelelang berkebangsaan Turki mengambil sejumlah buku secara acak yang masing-masing diberi skor setengah. Salah seorang pembeli besarnya adalah Wazir Saladin yang pandai, yang suka mengoleksi buku, Al-Qodhi Al-Fadhil Abu Syamah, yang menyebutkan bebrapa nama orang yang merupakan sumbernya, mengatakan bahwa ia berjalan berkeliling, dan membeli setelah memilih semua buku yang diinginkannya sebelum pelelangandimulai. Lalu ia menyobek sampulnya dan melemparkannya ke tempat pembuangan seolah-olah semua itu adalah sampah, sehingga tak seorang pun memperhatikan buku-buku tersebut. Kemudian, ketika hari pelelangan telah usai, ia membelinya dengan harga murah. Bagaimanapun juga, buku-buku tersebut dapat dimanfaatkan dengan baik, karena Al-Qodhi Al-Fadhil memberikan 100.000 jilid kepada sekolah yang didirikannya, Al-Madrasah al Fadziliyah. Memang benar, buku-buku itu akhirnya hilang  pada masa bencana kelaparan tahun 1296, murid-murid menjual buku-buku itu untuk mendapatkan roti. Sebanyak 100.000 jilid lain yang juga berasal dari perpustakaan terkenal itu dikatakan telah melayang ke perpustakaan rumah sakit Al-Qold’un yang dibangun pada 1284. Sejauh mana manuskrip-manuskrip perpustakaan itu berhasil diselamatkan sampai ke zaman kita melalui kehebatan pengkoleksian buku dinasti Fathimiyyah, tentu saja sulit untuk ditentukan.
Mungkin faktor yang paling penting adalah bahwa beberapa keturunan dinasti Fathimiyyah berhasil melarikan diri ke Yaman. Keturunan mereka tinggal disana dalam ketenangan sampai suatu masa ketika salah seorang anggota keluarga mereka muncul di hadapan masyarakat Eropa dan mengungkapkan kepada kaum Orientalis bahwa sebagian besar dari literature zaman dinasti Fathimiyyah masih tersimpan di Yman. Beberapa bagian yang telah dipublikasikan sejauh ini menunjukan bahwa penerbitan karya-karya tersebut akan menjadi sumber yang berharga bagi pengetahuan kita tentang sejarah kebudayaan islam.
Ketika Dinasti Fathimiyyah mulai memasuki Mesir, ada seorang penguasa Kordoba, Al-Hakam II (961-976), yang mendapat tempat yang baik di kalangan para ilmuwan dan pangeran-pangeran pecinta buku dalam islam. Ia adalah anggota suatu dinasti yang menyatakan kemerdekaannya dan menuntut ha katas kekhalifahan. Dinasti ini merupakan cabang dari bani Umayyah, kekhalifahan pertama islam, yang pada saat kemenangan ‘ Abbasiah, pada 756 telah menetap di propinsi paling barat kerajaan itu. Mereka mendirikan sebuah perpustakaan yang mencapai puncak perkembangannya di bawah Al-Hakam. Ia mengumpulkan para ilmuwan dan pemimpin masjid, dan masjid besar di Kordoba dibuat menjadi pusat studi. Perpustakaan yang berada dalam istana Kordoba itu diurus oleh petugas perpustakaan, seorang samin yang bernama Bakiya. Para penyalin dan penjilid buku juga dipekerjakan disana, dan Al-Hakam mempunyai agen-agen di setiap propinsi yang menyediakan buku untuknya dengan cara membeli dan menyalin. Ibn Hazm mengatakan bahwa Bakiya bercerita kepadanya bahwa katalog buku dan nama-nama pengarang meliputi empat puluh empat bundel yang masing-masing terdiri dari dua puluh halaman. Ungkapan ini menunjukan bahwa perpustakaan tidak terbuaka untuk masyarakat umum. Kegemerlapan perpustakaan itu menjadi suram di bawah putera dan penerus Al-Hakam, Hisyam, karena pemimpin nasional yang berkuasa penuh, Al-Manshur, yang ingin menarik hati  para ilmuwan agama ortodoks, memperbolehkan mereka mengeluarkan dan membakar buku-buku di perpustakaan yang tidak mereka sukai. Buku-buku yang dimaksudkan adalah karya-karya filsafat, astronomi dan seterusnya, yaitu “ilmu-ilmu kuno” peninggalan Helenistik yang selalu merupakan duri dalam daging bagi orang-orang Sunni Ortodoks. Pada 1011, ketika Kordoba terperangkap dalam peperangan bangsa barbar memberi Wadhih menjual bagian utama dari perpustakaan untuk mendapatkan uang untuk membiayai perang dan sisanya dirusak oleh musuh.
Walaupun demikian, perpustakaan-perpustakaan masih terus didirakan. Hal ini merupakan kebutuhan dan kebanggaan bagi para ilmuwan, paling tidak, dalam pandangan para penguasa dan orang-orang kaya. Para pembesar Spanyol yang menjadi penerus bani Umayyah pada 1031 menadi terkenal dengan perpustakaan-perpustakaan mereka di Saragossa, Granada, Toledo, dan di tempat-tempat lain; demikian pula para ilmuwan dengan berbagai koleksi bukunya. Di Mesir para Wazir pun mempunyai perpustakaan-perpustakaan yang besar, Wasir Saladin, Al-Qodhi Al-Fadhil yang telah disebutkan diatas, salah seorang pendahulunya, Ya’qub ibn Killis, wasir khalifah Fathimiyyah, Al-Aziz, konon telah mendirikan sebuah akademi sendiri, dimana ia telah mengeluarkan 1.000 dinar per bulan untuk membayar para ilmuwan, juru tulis dan penjilid buku.
Bayak di antara para bangsawan yang dekat dengan golongan ‘Abbasiah yang mempunyai perpustakaan. Teman Al-Mutawakkil, Al-Fath ibn Khaqan (w.861), yang menurut ibn  Al-Nadim sangat bijaksana dan pandai dalam bidang kesusasteraan, selalu membuka pintunya bagi para sastrawan dan ilmuwan. Temannya, ‘Ali ibn Yahya, membangun untuknya sebuah perpustakaan yang tersohor karena ukuran dan keagungannya. ‘Ali ini, yang mempunyai nama samaran Al-Munajjim yang artinya “ahli astronomi”, adalah orang kaya yang mempunyai sebuah istana di pinggir kota Baghdad. Di tempat ini ia mendirikan sebuah perpustakaan besar yang mengkhususkan pada ilmu-ilmu alam, terutama astronomi. Ia membuka pintunya lebar-lebar bagi setiap orang, menerima kunjungan dari seluruh dunia islam, dan menjamu tamu-tamu secara Cuma-Cuma kalau mereka dating untuk belajar di Khizdnat Al-Hikmah atau “gedung kekayaan hikmah”-nya. Diriwayatkan bahwa ahli astronomi Abu Ma’syar dating ke tempat itu dari Khurasan dengan dengan penelitian-penelitiannya sehinga ia membatalkan ibadah haji dan meninggalkan agama islam .  Hal ini menunjukan betapa sulitnya Islam mengasimilasi “ ilmu-ilmu kuno,” yang memainkan peran yang begitu besar dalam perpustakaan-perpustakaan yang pertama dan tetap dipandang penting di kalangan Syi’ah.
Selama berlangsungnya perdebatan yang tak pernah akhir yang memenuhi masa kejayaan islam, kekuasaan jatuh ke tangan-tangan para penerus yang berasal dari keluarga-keluarga dan pihak-pihak yang berbeda, namun kami menemukan suatu kesamaan diantara mereka, yaitu ketertarikan kepada buku dan pendirian perpustakaan-perpustakaan. Para menteri Dinasti ‘Abbasiah yang telah bangkit melalui pelayanan kepada masyarakat, tak dapat disangkal lagi, juga tertarik kepada perpustakaan. Kenyataan bahwa ibn Al-Fur’at yang telah tiga kali memperoleh pangkat wazir, ketika wafat pada 924 meninggalkan koleksi buku senilai 2.000 dinar tidak dianggap mengesankan, mengingat bahwa dengan jabatannya ia mampu memperoleh berjuta-juta. Kelompok dari kerajaan Persia, yang menjalankan hegemoni terhadap irak dan Persia barat selama seratus tahun (945-1055), sambil secara formal mengakui dinasti ‘Abbasiah, berusaha memelihara simpati kelompok Syi’ah.  Mereka juga mempekerjakan orang-orang yang mampu menyatukan aktivitas politik dengan ketertariakan kepada buku-buku. Sejak tahun 940, kelompok Rukn Al-Daula, yang memerintah Rayy di Persia barat, dalam kekuasaanya mempunyai seorang wazir bernama Ibn Al-‘Amid yang merupakan seorang ilmuwan kenamaan Al-‘Amid mempunyai sebuah perpustakaan besar dimana ahli sejarah Miskawayh adalah petugas perpustakaannya. Miskawayh menceritakan tentang seorang tentara Khurasan yang datang membantu dalam peperangan melawan Byzantium. Namun ketika permintaanya tidak dikabulkan oleh pemerintah Rayy, ia menduduki seluruh kota (966). Tempat kediaman sang wazir benar-benar dijarah, tetapi ia segera mengurus koleksi buku-bukunya yang mencakup semua ilmu pengetahuan dan kesusastraan, yang secara keseluruhan memerlukan seratus ekor unta untuk membawanya;kerugian itu takkan dapat terbayarkan, namun dalam peristiwa tersebut sang wazir berhasil menyelamatkan koleksi buku-buku tersebut.
Isma’il ibn ‘abbad (w.995), penerus Ibn Al-Amud sebagai menteri di Rayy,  juga seorang pengarang, dan salah satu di antara bibliografi yang paling rinci yang ditulis oleh Yaqut di persembahkan kepadanya. Beliaulah yang mengatakan bahwa pembayaran Sayf Al-Daula kepada Al-Ishfahani untuk menulis “ Buku Nyanyian” terlalu kecil. Dalam kesempatan itu ia mengatakan bahwa perpustakaan terdiri dari 6.200 jilid, dan bahwa karya yang disebutkan diatas adalah satu-satunya karya yang dibangun untuk bacaan santai di waktu malam. Perpustakaan itu mempunyai arti yang besar baginya sehungga ia menolak tawaran Nuh ibn Mansyur, pembesar Saman di Khurasan, untuk menjadi wasirnya. Alasanya adalah bahwa pemindahan perpustakaannya akan menimbulkan banyak kesulitan.
Para Amir dan orang-orang kaya mendirikan madrasah demi kehormatan dan keselamatan jiwa mereka sendiri. Namun sedikit demi sedikit muncul ketakseimbangan antara kebutuhan dan keinginan tersebut. Ajaran Ortodoks membuat sumber-sumber pendidikan kering, sehingga pada 1500 seorang pelancong, Leo Africanus, melaporkan bahwa Kairo penuh dengan lembaga-lembaga pendidikan yang dilengkapi dengan fasilitas yang baik, tetapi tak seorang pun memanfaatkannya. Dalam situasi ini, dana yang disumbangkan untuk perawatan gedung menjadi mubazir dan lama kelamaan gedung-gedung itu pun menjadi rusak. Ketika Lane tinggal di Kairo pada tahun dua puluh dan tiga puluhan dari abad kesembilan belas, masih banyak perpustakaan-perpustakaan besar di masjid-masjid yang berisi buku-buku teologi, Al-Quran, hadits Nabi, fiqih, dan bahasa Arab; namun semua itu tidak dipedulikan, dan banyak buku yang hilang atau jatuh ke tangan pribadi-pribadi yang menjadi pengawasnya.
Bahkan pada masa sekarang pun, sisa peningggalan perpustakaan-perpustakaan ini masih ada di masjid-masjid; masjid Al-Azhar di Kairo, misalnya, mempunyai perpustakaan yang cukup baik, demikian pula masjid-masjid di Makkah dan Madinah, menurut pelancong muslim belakangan ini. Ada banyak perpustakaan di masjid Zaytuna, Tunisia, di Tlemcen, Algeria, dan di Rabat, Maroko. Di Istanbul, terdapat banyak manuskrip milik berbagai masjid dan sebuah perpustakaan pusat yang besar; katalog-katalog besarnya diterbitkan, namun sayangnya tidak benar-benar dapat diandalkan. Kebanyakan manuskrip di masjid-masjid Kairo satu demi satu jatuh ke tangan perpustakaan Nasional yang didirikan pada 1838 dan kini mempunyai karakter yang sama dengan perpustakaan-perpustakaan di Eropa; demikian pula di Damaskus, buku-buku yang selamat kini dikumpulkan di perpustakaan Zhahiriyah. Susunan yang ada di sisni dan di masjid Al-Azhar, misalnya, sama dengan perpustakaan kuno, buku-buku diletakkan secara bertumpuk di rak. Judulnya ditulikan di sisi yang menghadap keluar atau pada kotaknya jika ada. Di Masjid Al-Azhar lima puluh tahun yang lalu, kerap terlihat lembaran-lembaran yang disisipkan di dalam sampulnya tanpa dijilid, dan kadang dipinjam secara satuan kepada para siswa, yang tentu saja tidak menjamin keselamatannya.
Masih banyak perpustakaan pribadi yang penting di timur yang berisikan manuskrip-manuskrip kuno. Beberapa tahun yang lalu ada dua perpustakaan pribadi di Kairo yang mempunyai keistimewaan tersendiri: yang satu milik Ahmad Zaki Pasya dan yang lain milik Ahmad Tasmur Pasya. Yang kedua ini, menurut edisi berbahasa Arab dari Revue de l’Academie Arabe yang terbit pada 1923 di Damaskus,memiliki sekitar 12.000 koleksi, yang setengahnya berupa manuskrip. Kedua perpustakaan ini menjadi milik umum ketika pemiliknya meninggal dunia. Majalah yang baru disebutkan diatas telah memberikan beberapa penjelasan tentang perpustakaan pribadi lainnya di timur.
Selama bertahun-tahun sejumlah besar manuskrip telah dikumpulkan di perpustakaan-perpustakaan Eropa yang telah menerbitkan katalog tercetak sebagai pegangan. Dengan demikian, banyak literature islam yang telah terselamatkan, namun sejumlah besar telah hilang. Karena itu, banyak karya yang telah disebutkan oleh Ibn Al-Nadim dalam bukunya Fihrist pada abad kesepuluh hanya dikenal namanya saja, juga oleh Yaqut dan lain-lainnya dalam biografi mereka, dan oleh Haji Khalifah dari Turki dalam karya besar bibliografinya pada abad ketujuh belas. Ketika edisi Leiden dari karya sejarah Al-Thabari yang berjumlah tiga puluh jilid itu sedang dipersiapkan pada 1870-an, masih mungkin untuk mendapatkan salinan yang utuh hanya dengan menyusun kembali potongan-potongan yang diperoleh dari beberapa perpustakaan di Eropa dan di Timur. Tak ada yang bisa memeperoleh salinan yang utuh, dan bahkan ada kekosongan yang harus diisi oleh karya-karya ahli sejarah lain yang telah membaca buku Al-Thabari. Itulah salah satu karya yang telah menampakkan kejayaan dunia islam saat itu, dan yang tak diragukan lagi pada saat itu tak pernah terlewatkan oleh semua perpustakaan besar dalam dunia islam. Selalu ada kemungkinan ditemukannya manuskrip-manuskrip yang tak dikenal dari wilayah-wilayah yang tidak banyak diakses oleh bangsa Eropa, seperti Yaman, yang dari sanalah, seperti yang kita ketahui, ditemukan kembali sejumlah literature dari zaman Isma’iliyah belum lama ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar