PERPUSTAKAAN
DI DUNIA ISLAM
Perkembangan
seni produksi buku yang tak ada duanya dalam islam disebabkan karena
ketertarikan para hartawannya yang penuh semangat terhadap buku. Dunia ilmu
telah menikmati kedudukan yang sedemikian tinggi, sehingga wajarlah jika
orang-orang yang mampu ikut mengambil
bagian dan mengusahakan kemajuannya. Kita telah melihat betapa pentingnya para pembesar bagi para penulis
dan banyak di antara mereka yang ikut mendirikan perpustakaan. Al-Qalqasyandi
mengatakan bahwa ada tiga perpustakaan besar dalam islam; perpustakaan ‘Abbasiah di Baghdad, perpustakaan Fathimiyyah di Kairo, dan perpustakaan Umayyah di Kordoba.
Perpustakaan
‘Abbasiah di Baghdad berdiri dalam
kaitannya dengan akademi bayt al-hikmah,
“gedung hikmah”, atau dar al-ilm , “
tempat pendidikan”, yang didirikan oleh khalifah Al Ma’mum (813-833) atau
mungkin sebelumnya oleh ayahnya. Hirun Al-Rasyid (789-809). Tugas pertama
akademi itu adalah untuk menyimpan terjemahan-terjemahan buku-buku “ilmu-ilmu
kuno” yaitu filsafat Hellenistik dan ilmu alam. Ibn Al Nadim mencatat bahwa Al
Ma’mum dalam mimpinya melihat seseorang berkulit putih kemerah-merahan,
keningnya lebar, alisnya bertaut, kepalanya botak, matanya biru, sikapnya
gagah, duduk di singgahsana. Dia adalah Aristoteles, percakapan yang
berlangsung diantara mereka dalam mimpi itu memberi ilham kepada Al Ma'mum
untuk mempromosikan literature Yunani dalam akademinya. Karena itu, setelah
mengadakan surat-menyurat dengan penguasa Byzantinum ia mengutus beberapa
orangnya ke Yunani dan mereka pulang dengan membawa sejumlah buku untuk
diterjemahkan.
Akan
tetapi, Al Ma’mum bukan orang pertama yang mendirikan perpustakaan terjemahan.
Putera khalifah Umayyah, Yazid I, Khalid ibn Yazid ibn Mu’awiyah (w.704) konon
telah mendahuluinya, dan ia mengatakan sendiri bahwa itu dilakukannya dengan
maksud menghibur diri setelah kecewa karena tidak mendapatkan kekhalifahan.
Kegiatan penerjemahan terus berlanjut di bawah pemerintahan Dinasti ‘Abbasiah.
Maka kita pun mendengar bahwa Almagest karya Ptolemy diterjemahkan atas
inisiatif Barmakid Yahya ibn Khalid, guru harun Al-Rasyid yang juga pernah
menjabat sebagai perdana menterinya. Melalui kesempatan ini kita dapat
mengetahui bagaimana karya terjemahan dikerjakan. Mula-mula Yahya meminta karya
itu diterjemahkan dan ditafsirkan oleh sejumlah ilmuwan secara terpisah ; namun
hasilnya tidak begitu memuaskan. Lalu dia menunjuk dua orang ilmuwan- Salam
yang telah ditetapkan sebagai direktur akademi ilmu pengetahuan adalah salah
satunya untuk meneliti naskah tersebut bersama beberapa penerjemah. Mereka
membuat perbaikan-perbaikan dan mengembangkannya. Contoh-contoh lain
menunjukkan bahwa sistem penggunaan satu atau lebih penerjemah dan editor
supervisi adalah praktik yang umum.
Sumbangan
Al Ma’mum mungkin termasuk memperluas ruang lingkup aktivitas yang sedang
berkembang itu. Ada tiga tokoh yang menonjol dalam akademi itu, yaitu Salam,
yang telah disebutkan diatas, dan dua orang rekannya, Sahl ibn Hirun dan Sa’id
ibn Harun.” Sealin itu seorang berkebangsaan Persia yang menonjol,
Al-khwarizmi, yang di antara keberhasilannya adalah sebuah karya di bidang
astronomi, di antaranya table-tabel astronomis berdasarkan tulisan orang-orang
India.
Al
Ma’mum tidak sendiri dalam dukungannya terhadap aktivitas ini; tiga orang putra
Al-Munajjim, misalnya, juga membayar lima ratus dinar per bulan untuk sekelompok
penerjemah. Penerjemah sangat dibutuhkan pada saat itu ketika khazanah
literature Islam sedang dalam proses pendirianya, namun perpustkaan Al- Mu’mun
tentu saja juga menyediakan literatur Arab lainya. Kami tidak mengetahui
sejarah berikutnya, demikian pula tentang sejauh mana buku-buku tersebut dapat
diperoleh orang selain dari khalifah sendiri dan orang-orang tertentu yang
diberi pengakuan oleh khalifah. Dilaporkan bahwa ketika khalifah yang
berikutnya, Al-Mu’tadhid (892-902), sedang merencanakan sebuah bangunan istana
baru di Baghdad, ia menginginkan sebuah ruang bawah tanah berikut tempat
tinggal dan ruang belajar bagi orang-orang yang menonjol dalam ilmu pengetahuan
dan kesusasteraan. Tempat itu harus dilengkapi dengan meja-meja dan penginapan supaya
mereka dapat bebas belajar. Perpustakaan yang diperlukan untuk kebutuhan ini
diharapkan sesuai dengan perpustakaan yang menggunakan nama Al-Mu’min. dan
wajar saja jika perpustakaan itu makin berkembang seiring dengan berjalannya
waktu. Ketika kampus besar (madrasah) yang dikenal dengan Al-Madrasah
Al-Mustanshiriyah didirikan pada 1234, beberapa buku dari perpustakaan khalifah
dialihkan ke tempat itu kira-kira 8000 jilid.
Di
bawah perpustakaan-perpustakaan Fatimiyyahlah cahaya benderang itu gemerlapan.
Penguasa dinasti Fathimiyyah menyatakan diri sebagai keturunan puteri
Rasullulah, Fathimah; maka menurut pendapat orang-orang syi’ah mereka mempunyai
hak terhadap kekuasaan Islam. Sekte yang mereka pimpin itu merupakan cabang
dari Isma’iliyah Sekte ini tersebar terluas sehingga mereka mampumendirikan
sebuah kerajaan, mula-mula di Afrika Utara (967-1171), kemudian di Mesir, yang
mereka beri sentuhan budaya yang kuat. Mereka mendirikan Kairo yang sepenuhnya
baru di sisi Kairo yang lama, dengan istana yang begitu megah dan sebuah
masjid, Al-Azzar, yang sejak saat itu merupakan pusat dunia islam. Mereka mendirikan
perpustakaan di istana itu dan tidak diragukan lagi, juga di masjid-masjid.
Menjelang
pemerintahan khalifah dinasti Fathimiyyah kedua, Al-‘Aziz (975-996),perpustakaan
istana telah berkembang pesat. Pada suatu kesempatan ketika buku Al-Khalil
kitab al-‘ayn, yaitu sebuah kitab ciptaan salah seorang ahli bahasa arab pada
masa awal, ditanyakan oleh khalifah, petugas perpustakaan dapat membawakan
kepadanya sebanyak tiga puluh satu salinan, termasuk satu yang bertanda tangan.
Ia membeli karya-karya sejarah Al-Tabhari seharga seratus dinar, walaupun sudah
ada lebh dari dua puluh salinan termasuk satu yang bertanda tangan. Ada seratus
karya mengenai leksikograf, yaitu Jamhara karya Ibn Durayad. Secara keseluruhan
ada empat puluh koleksi buku di perpustakaan istana, berarti empat puluh
ruangan yang penuh berisi buku.“ ilmu-ilmu kuno,” yaitu ilmu alam dan filsafat
Hellenistik ‘Ali ibn Muhammad Al-Syabusyti, pengarang buku tentang rumah-rumah
ibadah di Negara-negara islam. Ia menyususn dan membuat katalog buku-buku
tersebut dan membacakan buku untuk khalifah serta mendiskusikan masalah-masalah
sastra. Tentu saja bukan ini masalah utamanya, yaitu bahwa para penguasa
memperhatikan kesusasteraan hanya supaya orang lain terpengaruh untuk masuk ke
dunia sastra; tapi mereka mempunyai kepentingan tersendiri. Namun demikian,
ketika salinan buku karya seseorang dibuat dalam jumlah besar, ini baru
memberikan kesan bahwa perpustakaan terbuka untuk kalangan luas. Namun, harus
diingat bahwa beberapa karya dicipakan karena permintaan, dan juga bahwa dalam
pentransmisian naskah setiap salinan dianggap sebagai suatu edisi yang terpisah
dari buku tersebut.
Suatu
inovasi dilakukan oleh Al-Hakim (996-1021). Di sebuah ruangan bawah tanah
dibagian utara sisi barat sebuah istana besar, ia mendirikan sebuah akademi
yang bermodelkan institusi pra-islam dan dinamai seperti akademinya Al-Ma’mum
dimasa dahulu, dar’l ilm atau dar’l hikmah. Lembaga ini disahkan oleh kepala
bagian propaganda pemerintah, yang menunjukan keinginan untuk menggunakannya
sebagai sarana mendekatkan rakyat kepada pemerintah dan kepada ajaran-ajaran
yang menjadi ciri khas sekte yang diwakilinya. Tetapi akademi itu adalah
lembaga pendidikan yang memiliki perpustakaan sendiri, yang disuplai dari
berbagai sumber perpustakaan istana. Seluruh cabang ilmu dimasukkan ke sana.
Banguanan itu dihiasi dengan karpet di lantaidan dindingnya, dan selain
buku,disediakan juga kertas, pena, dan tinta untuk umum. Siapa saja boleh masuk
dan lembaga ini didatangi oleh berbagai kelas dalam masyarakat yang ingin
membaca, menulis dan mendapat pengajaran. Peneliti, para asisten, dan pesuruh
dipekerjakan dengan gaji tetap, dan para ilmuwan pun diberi gaji untuk
melakukan studi di lembaga tersebut.
Anggaran
belanja lembaga tersebut mencapai 257 dinar per tahun, menurut Al-Maqrizi.
Daftar belanja tetapnya meliputi: karpet-karpet dari Abadan dan tempat-temapat
lain, 10 dinar; kertas untuk menulis, 90 dinar;petugas perpustakaan, 48 dinar;
air, 12 dinar; pelayan, 15 dinar; kertas, pena dan tinta untuk para ilmuwan
yang memerlukannya, 12 dinar; perbaikan karpet, 1 dinar; perbaikan yang mungkin
diperlukan untuk buku-buku dan lembaran-lembaran yang hilang, 12 dinar; karpet
bulu untuk musim dingin, 4 dinar. Jumlah totalnya terhitung 209 dinar. Sisanya
mungkin disediakan untuk keperluan-keperluan tambahan. Buku-buku diperoleh
melalui penerjemahan, tetapi beberapa tambahan mungkin juga diberikan sebagai
hadiah oleh khalifah. Mengingat jumlah uang yang harus dibayarkan untuk buku,
seperti misalnya 200 dinar untuk buku sejarah Al-Thabari dan 60 dinar untuk Jamhara
karya Ibn Durayd, maka anggaran belanja yang diuraikan diatas tampaknya terlalu
rendah untuk pembelian buku-buku utama. Perpustakaan serupa juga didirikan oleh
Al-Hakim di berbagai tempat lain seperti Al-Fustat, Mesir lama.
Perpustakaan
istana dan akademi berkembang selama tahun-tahun kemakmuran menjelang
pemerintahan khalifah Fathimiyyah, Al-Mustanshir, ketika terjadi musibah
kelaparan selama tujuh tahun (1066-1072) akibat bencana banjir dari sungai nil.
Selama masa kekacauan yang lantas melanda kaum militer Turki merampas kekuasaan
dari khalifah yang lemah, dan mereka menjarah istana yang penuh dengan kekayaan
yang luar biasa itu. Sejumlah besar buku hilang pada masa itu, tentara-tentara
merebutkannya untuk kekayaan mereka. Ini terjadi pada 1068. Adalah jendral
Nashir Al Daula yang bertanggung jawab atas kerusuhan ini, namun seorang wazir
juga terlibat di dalamnya. Orang-orang Maqrizi dalam urusan ini melihat sendiri
dua puluh lima ekor unta dibebani dengan buku-buku untuk dibawa ke tempat
kediaman Wazir Al-Maghribi. Ia telah mengambil seharga 5.000 dinar, sedangkan
menurut pendapat para ahli buku semua itu berharga lebih dari 100.000 dinar;
namun kemudian, buku-buku tersebut diambil kembali darinya ketika Nashir
Al-Daula menghilang dari Mesir, demikian juga buku-buku dari akademi ilmu
pengetahuan itu. Sejumlah buku lain juga dicuri disebuah kota di Mesir,
sampulnya digunakan untuk sol para prajurit, dan kertas-kertasnya dibakar,
sedangkan beberapa yang lainnya dilemparkan ke dalam air atau dibuang. Sejumlah
buku dikumpulkan dalam tumpukan besar, lalu angina sedikit demi sedikit
menerbangkan pasir sehingga gundukan buku itu berubah menjadi bukit dan
terkenal dengan sebutan bukit buku.
Akan
tetapi, perpustakaan itu tidak dihancurkan secara total. Pada tahun berikutnya,
ia diperbaiki dan diperluas. Untuk sementara waktu akademi itu menjadi arena
perdebatan agama dan politik, yang dipandang berbahaya oleh Wazir Al-Afdhal
sehingga ia menutupnya pada 1119. Namun setelah ia turun tahta dua tahun
kemudian, akademi tersebut dibuka kembali oleh penerusnya, Al-Ma’mum, pada
1123, yang kini bertempat disebuah bangunan baru disebelah timur istana. Dengan
demikian, ketika Saladin berkuasa pada 1171 dan mengalahkan semua keturunan
Fathimiyyah, baik akademi maupun perpustakaan istana berada dalam keadaan baik,
Akan tetapi, akademinya, yang tentu saja berada di bawah pengaruh Syi’ah
ditutup, karena masa itu merupakan puncak kejayaan golongan suni ortodoks.
Kejayaan istana, termasuk perpustakaannya,
diserahkan atau dijual. Seperti biasa, angka yang diberikan oleh
penulis-penulis Arab sangat bervariasi, bahkan ketika menyatakankekayaan
perpustakaan pada saat itu. Al-Maqrizimenyebutkan tiga perkiraan: 120.000,
200.000,601.000 jilid; Abu Syamah mengatakan dua juta. Keduanya meriwayatkan
bahwa di antaranya ada sekitar 1.200 salinan buku Al-Thabari. Semua saksi
sepakat bahwa bagaimanapun perpustakaan itu merupakan salah satu keajaiban
dunia yang taka da tandingannya, yang menjadi wadah seluruh ilmu islam saat
itu.
Abu
Syamah menjelaskan tentang pelelangan buku seorang pelelang berkebangsaan Turki
mengambil sejumlah buku secara acak yang masing-masing diberi skor setengah.
Salah seorang pembeli besarnya adalah Wazir Saladin yang pandai, yang suka
mengoleksi buku, Al-Qodhi Al-Fadhil Abu Syamah, yang menyebutkan bebrapa nama
orang yang merupakan sumbernya, mengatakan bahwa ia berjalan berkeliling, dan
membeli setelah memilih semua buku yang diinginkannya sebelum
pelelangandimulai. Lalu ia menyobek sampulnya dan melemparkannya ke tempat
pembuangan seolah-olah semua itu adalah sampah, sehingga tak seorang pun
memperhatikan buku-buku tersebut. Kemudian, ketika hari pelelangan telah usai,
ia membelinya dengan harga murah. Bagaimanapun juga, buku-buku tersebut dapat
dimanfaatkan dengan baik, karena Al-Qodhi Al-Fadhil memberikan 100.000 jilid
kepada sekolah yang didirikannya, Al-Madrasah
al Fadziliyah. Memang benar, buku-buku itu akhirnya hilang pada masa bencana kelaparan tahun 1296,
murid-murid menjual buku-buku itu untuk mendapatkan roti. Sebanyak 100.000
jilid lain yang juga berasal dari perpustakaan terkenal itu dikatakan telah melayang
ke perpustakaan rumah sakit Al-Qold’un
yang dibangun pada 1284. Sejauh mana manuskrip-manuskrip perpustakaan itu
berhasil diselamatkan sampai ke zaman kita melalui kehebatan pengkoleksian buku
dinasti Fathimiyyah, tentu saja sulit
untuk ditentukan.
Mungkin
faktor yang paling penting adalah bahwa beberapa keturunan dinasti Fathimiyyah
berhasil melarikan diri ke Yaman. Keturunan mereka tinggal disana dalam
ketenangan sampai suatu masa ketika salah seorang anggota keluarga mereka
muncul di hadapan masyarakat Eropa dan mengungkapkan kepada kaum Orientalis
bahwa sebagian besar dari literature zaman dinasti Fathimiyyah masih tersimpan
di Yman. Beberapa bagian yang telah dipublikasikan sejauh ini menunjukan bahwa
penerbitan karya-karya tersebut akan menjadi sumber yang berharga bagi
pengetahuan kita tentang sejarah kebudayaan islam.
Ketika
Dinasti Fathimiyyah mulai memasuki Mesir, ada seorang penguasa Kordoba,
Al-Hakam II (961-976), yang mendapat tempat yang baik di kalangan para ilmuwan
dan pangeran-pangeran pecinta buku dalam islam. Ia adalah anggota suatu dinasti
yang menyatakan kemerdekaannya dan menuntut ha katas kekhalifahan. Dinasti ini
merupakan cabang dari bani Umayyah, kekhalifahan pertama islam, yang pada saat
kemenangan ‘ Abbasiah, pada 756 telah menetap di propinsi paling barat kerajaan
itu. Mereka mendirikan sebuah perpustakaan yang mencapai puncak perkembangannya
di bawah Al-Hakam. Ia mengumpulkan para ilmuwan dan pemimpin masjid, dan masjid
besar di Kordoba dibuat menjadi pusat studi. Perpustakaan yang berada dalam
istana Kordoba itu diurus oleh petugas perpustakaan, seorang samin yang bernama Bakiya. Para penyalin
dan penjilid buku juga dipekerjakan disana, dan Al-Hakam mempunyai agen-agen di
setiap propinsi yang menyediakan buku untuknya dengan cara membeli dan
menyalin. Ibn Hazm mengatakan bahwa Bakiya bercerita kepadanya bahwa katalog
buku dan nama-nama pengarang meliputi empat puluh empat bundel yang
masing-masing terdiri dari dua puluh halaman. Ungkapan ini menunjukan bahwa
perpustakaan tidak terbuaka untuk masyarakat umum. Kegemerlapan perpustakaan
itu menjadi suram di bawah putera dan penerus Al-Hakam, Hisyam, karena pemimpin
nasional yang berkuasa penuh, Al-Manshur, yang ingin menarik hati para ilmuwan agama ortodoks, memperbolehkan
mereka mengeluarkan dan membakar buku-buku di perpustakaan yang tidak mereka
sukai. Buku-buku yang dimaksudkan adalah karya-karya filsafat, astronomi dan
seterusnya, yaitu “ilmu-ilmu kuno” peninggalan Helenistik yang selalu merupakan
duri dalam daging bagi orang-orang Sunni Ortodoks. Pada 1011, ketika Kordoba
terperangkap dalam peperangan bangsa barbar memberi Wadhih menjual bagian utama
dari perpustakaan untuk mendapatkan uang untuk membiayai perang dan sisanya
dirusak oleh musuh.
Walaupun
demikian, perpustakaan-perpustakaan masih terus didirakan. Hal ini merupakan
kebutuhan dan kebanggaan bagi para ilmuwan, paling tidak, dalam pandangan para
penguasa dan orang-orang kaya. Para pembesar Spanyol yang menjadi penerus bani
Umayyah pada 1031 menadi terkenal dengan perpustakaan-perpustakaan mereka di
Saragossa, Granada, Toledo, dan di tempat-tempat lain; demikian pula para
ilmuwan dengan berbagai koleksi bukunya. Di Mesir para Wazir pun mempunyai
perpustakaan-perpustakaan yang besar, Wasir Saladin, Al-Qodhi Al-Fadhil yang
telah disebutkan diatas, salah seorang pendahulunya, Ya’qub ibn Killis, wasir
khalifah Fathimiyyah, Al-Aziz, konon telah mendirikan sebuah akademi sendiri,
dimana ia telah mengeluarkan 1.000 dinar per bulan untuk membayar para ilmuwan,
juru tulis dan penjilid buku.
Bayak
di antara para bangsawan yang dekat dengan golongan ‘Abbasiah yang mempunyai
perpustakaan. Teman Al-Mutawakkil, Al-Fath ibn Khaqan (w.861), yang menurut
ibn Al-Nadim sangat bijaksana dan pandai
dalam bidang kesusasteraan, selalu membuka pintunya bagi para sastrawan dan
ilmuwan. Temannya, ‘Ali ibn Yahya, membangun untuknya sebuah perpustakaan yang
tersohor karena ukuran dan keagungannya. ‘Ali ini, yang mempunyai nama samaran
Al-Munajjim yang artinya “ahli astronomi”, adalah orang kaya yang mempunyai
sebuah istana di pinggir kota Baghdad. Di tempat ini ia mendirikan sebuah
perpustakaan besar yang mengkhususkan pada ilmu-ilmu alam, terutama astronomi.
Ia membuka pintunya lebar-lebar bagi setiap orang, menerima kunjungan dari
seluruh dunia islam, dan menjamu tamu-tamu secara Cuma-Cuma kalau mereka dating
untuk belajar di Khizdnat Al-Hikmah
atau “gedung kekayaan hikmah”-nya. Diriwayatkan bahwa ahli astronomi Abu Ma’syar
dating ke tempat itu dari Khurasan dengan dengan penelitian-penelitiannya
sehinga ia membatalkan ibadah haji dan meninggalkan agama islam . Hal ini menunjukan betapa sulitnya Islam
mengasimilasi “ ilmu-ilmu kuno,” yang memainkan peran yang begitu besar dalam
perpustakaan-perpustakaan yang pertama dan tetap dipandang penting di kalangan
Syi’ah.
Selama
berlangsungnya perdebatan yang tak pernah akhir yang memenuhi masa kejayaan
islam, kekuasaan jatuh ke tangan-tangan para penerus yang berasal dari
keluarga-keluarga dan pihak-pihak yang berbeda, namun kami menemukan suatu
kesamaan diantara mereka, yaitu ketertarikan kepada buku dan pendirian
perpustakaan-perpustakaan. Para menteri Dinasti ‘Abbasiah yang telah bangkit
melalui pelayanan kepada masyarakat, tak dapat disangkal lagi, juga tertarik
kepada perpustakaan. Kenyataan bahwa ibn Al-Fur’at yang telah tiga kali
memperoleh pangkat wazir, ketika wafat pada 924 meninggalkan koleksi buku
senilai 2.000 dinar tidak dianggap mengesankan, mengingat bahwa dengan
jabatannya ia mampu memperoleh berjuta-juta. Kelompok dari kerajaan Persia,
yang menjalankan hegemoni terhadap irak dan Persia barat selama seratus tahun
(945-1055), sambil secara formal mengakui dinasti ‘Abbasiah, berusaha
memelihara simpati kelompok Syi’ah.
Mereka juga mempekerjakan orang-orang yang mampu menyatukan aktivitas
politik dengan ketertariakan kepada buku-buku. Sejak tahun 940, kelompok Rukn
Al-Daula, yang memerintah Rayy di Persia barat, dalam kekuasaanya mempunyai
seorang wazir bernama Ibn Al-‘Amid yang merupakan seorang ilmuwan kenamaan
Al-‘Amid mempunyai sebuah perpustakaan besar dimana ahli sejarah Miskawayh
adalah petugas perpustakaannya. Miskawayh menceritakan tentang seorang tentara
Khurasan yang datang membantu dalam peperangan melawan Byzantium. Namun ketika
permintaanya tidak dikabulkan oleh pemerintah Rayy, ia menduduki seluruh kota
(966). Tempat kediaman sang wazir benar-benar dijarah, tetapi ia segera mengurus
koleksi buku-bukunya yang mencakup semua ilmu pengetahuan dan kesusastraan,
yang secara keseluruhan memerlukan seratus ekor unta untuk membawanya;kerugian
itu takkan dapat terbayarkan, namun dalam peristiwa tersebut sang wazir
berhasil menyelamatkan koleksi buku-buku tersebut.
Isma’il
ibn ‘abbad (w.995), penerus Ibn Al-Amud sebagai menteri di Rayy, juga seorang pengarang, dan salah satu di
antara bibliografi yang paling rinci yang ditulis oleh Yaqut di persembahkan
kepadanya. Beliaulah yang mengatakan bahwa pembayaran Sayf Al-Daula kepada
Al-Ishfahani untuk menulis “ Buku Nyanyian” terlalu kecil. Dalam kesempatan itu
ia mengatakan bahwa perpustakaan terdiri dari 6.200 jilid, dan bahwa karya yang
disebutkan diatas adalah satu-satunya karya yang dibangun untuk bacaan santai
di waktu malam. Perpustakaan itu mempunyai arti yang besar baginya sehungga ia
menolak tawaran Nuh ibn Mansyur, pembesar Saman di Khurasan, untuk menjadi
wasirnya. Alasanya adalah bahwa pemindahan perpustakaannya akan menimbulkan
banyak kesulitan.
Para
Amir dan orang-orang kaya mendirikan madrasah demi kehormatan dan keselamatan
jiwa mereka sendiri. Namun sedikit demi sedikit muncul ketakseimbangan antara
kebutuhan dan keinginan tersebut. Ajaran Ortodoks membuat sumber-sumber
pendidikan kering, sehingga pada 1500 seorang pelancong, Leo Africanus,
melaporkan bahwa Kairo penuh dengan lembaga-lembaga pendidikan yang dilengkapi
dengan fasilitas yang baik, tetapi tak seorang pun memanfaatkannya. Dalam
situasi ini, dana yang disumbangkan untuk perawatan gedung menjadi mubazir dan
lama kelamaan gedung-gedung itu pun menjadi rusak. Ketika Lane tinggal di Kairo
pada tahun dua puluh dan tiga puluhan dari abad kesembilan belas, masih banyak
perpustakaan-perpustakaan besar di masjid-masjid yang berisi buku-buku teologi,
Al-Quran, hadits Nabi, fiqih, dan bahasa Arab; namun semua itu tidak
dipedulikan, dan banyak buku yang hilang atau jatuh ke tangan pribadi-pribadi
yang menjadi pengawasnya.
Bahkan
pada masa sekarang pun, sisa peningggalan perpustakaan-perpustakaan ini masih
ada di masjid-masjid; masjid Al-Azhar di Kairo, misalnya, mempunyai
perpustakaan yang cukup baik, demikian pula masjid-masjid di Makkah dan
Madinah, menurut pelancong muslim belakangan ini. Ada banyak perpustakaan di
masjid Zaytuna, Tunisia, di Tlemcen, Algeria, dan di Rabat, Maroko. Di
Istanbul, terdapat banyak manuskrip milik berbagai masjid dan sebuah
perpustakaan pusat yang besar; katalog-katalog besarnya diterbitkan, namun
sayangnya tidak benar-benar dapat diandalkan. Kebanyakan manuskrip di
masjid-masjid Kairo satu demi satu jatuh ke tangan perpustakaan Nasional yang
didirikan pada 1838 dan kini mempunyai karakter yang sama dengan
perpustakaan-perpustakaan di Eropa; demikian pula di Damaskus, buku-buku yang
selamat kini dikumpulkan di perpustakaan Zhahiriyah. Susunan yang ada di sisni
dan di masjid Al-Azhar, misalnya, sama dengan perpustakaan kuno, buku-buku
diletakkan secara bertumpuk di rak. Judulnya ditulikan di sisi yang menghadap
keluar atau pada kotaknya jika ada. Di Masjid Al-Azhar lima puluh tahun yang
lalu, kerap terlihat lembaran-lembaran yang disisipkan di dalam sampulnya tanpa
dijilid, dan kadang dipinjam secara satuan kepada para siswa, yang tentu saja
tidak menjamin keselamatannya.
Masih
banyak perpustakaan pribadi yang penting di timur yang berisikan
manuskrip-manuskrip kuno. Beberapa tahun yang lalu ada dua perpustakaan pribadi
di Kairo yang mempunyai keistimewaan tersendiri: yang satu milik Ahmad Zaki
Pasya dan yang lain milik Ahmad Tasmur Pasya. Yang kedua ini, menurut edisi
berbahasa Arab dari Revue de l’Academie
Arabe yang terbit pada 1923 di Damaskus,memiliki sekitar 12.000 koleksi,
yang setengahnya berupa manuskrip. Kedua perpustakaan ini menjadi milik umum
ketika pemiliknya meninggal dunia. Majalah yang baru disebutkan diatas telah
memberikan beberapa penjelasan tentang perpustakaan pribadi lainnya di timur.
Selama
bertahun-tahun sejumlah besar manuskrip telah dikumpulkan di
perpustakaan-perpustakaan Eropa yang telah menerbitkan katalog tercetak sebagai
pegangan. Dengan demikian, banyak literature islam yang telah terselamatkan,
namun sejumlah besar telah hilang. Karena itu, banyak karya yang telah
disebutkan oleh Ibn Al-Nadim dalam bukunya Fihrist
pada abad kesepuluh hanya dikenal namanya saja, juga oleh Yaqut dan
lain-lainnya dalam biografi mereka, dan oleh Haji Khalifah dari Turki dalam
karya besar bibliografinya pada abad ketujuh belas. Ketika edisi Leiden dari
karya sejarah Al-Thabari yang berjumlah tiga puluh jilid itu sedang
dipersiapkan pada 1870-an, masih mungkin untuk mendapatkan salinan yang utuh
hanya dengan menyusun kembali potongan-potongan yang diperoleh dari beberapa
perpustakaan di Eropa dan di Timur. Tak ada yang bisa memeperoleh salinan yang
utuh, dan bahkan ada kekosongan yang harus diisi oleh karya-karya ahli sejarah
lain yang telah membaca buku Al-Thabari. Itulah salah satu karya yang telah
menampakkan kejayaan dunia islam saat itu, dan yang tak diragukan lagi pada
saat itu tak pernah terlewatkan oleh semua perpustakaan besar dalam dunia islam.
Selalu ada kemungkinan ditemukannya manuskrip-manuskrip yang tak dikenal dari
wilayah-wilayah yang tidak banyak diakses oleh bangsa Eropa, seperti Yaman,
yang dari sanalah, seperti yang kita ketahui, ditemukan kembali sejumlah
literature dari zaman Isma’iliyah belum lama ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar